Politik

Ini Dia 11 Kekonyolan UU yang Sempet Dibuat Cuma Nguntungin Sekelompok Orang Aja

Saya masih ingat marah dan kecewa saat melihat unggahan yang menyerukan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Perasaan itu muncul lagi ketika kasus Arif Kusnandar viral, dan saat gelombang provokasi rasial pada Agustus 2025 menggerus kepercayaan publik.

Dalam ruang sosial dan media, pola berulang terlihat: posting provokatif, reaksi warga, lalu aparat bergerak setengah hati. Masyarakat sering kali merasa aturan tidak berpihak, sehingga luka lama soal ras dan etnis terus muncul kembali.

Kita akan melihat bagaimana keberadaan UU anti-kebencian dan pasal KUHP seharusnya melindungi. Namun lemahnya penegakan hukum dan kebijakan membuat soal diskriminasi tetap menganga.

Bagian pengantar ini menyiapkan pembaca untuk menelaah peran negara, politik, dan praktik penegakan yang belum memberi rasa aman bagi setiap warga. Tulisan ini berusaha memberi data dan contoh konkret sebelum menuju solusi.

Lanskap UU Diskriminatif di Indonesia: Pola, Kontroversi, dan Dampaknya bagi Warga Negara

Data menunjukkan pola yang konsisten: aturan di atas kertas menjerat warga yang paling rentan. Komnas Perempuan mencatat sekitar 421 kebijakan hingga 2016 yang mengatur tubuh perempuan dan meminggirkan kelompok LBT.

LBH Masyarakat menemukan lebih dari 200 peraturan ketertiban umum di tingkat daerah yang multitafsir. Peraturan ini kerap dipakai untuk mengkriminalisasi ODHIV dan populasi kunci.

Pada Global Inclusiveness Index 2022, Indonesia turun ke posisi 103 dari 136 negara. Penurunan ini mencerminkan kondisi inklusivitas yang memburuk dan berimplikasi pada partisipasi warga dalam demokrasi.

  • Ratusan kebijakan bermasalah menunjukkan masalah sistemik, bukan insidental.
  • Peraturan multitafsir membuka celah kriminalisasi terhadap kelompok minoritas.
  • Diskriminasi sering menyasar identitas berbasis ras, etnis, agama, dan suku.
Sumber Temuan Utama Dampak pada Warga
Komnas Perempuan (s.d. 2016) ~421 kebijakan yang mengatur tubuh perempuan Marginalisasi perempuan dan LBT dalam layanan publik
LBH Masyarakat >200 perda multitafsir Kriminalisasi ODHIV dan populasi kunci
Global Inclusiveness Index 2022 Posisi 103 dari 136 negara Turunnya rasa aman dan partisipasi dalam demokrasi

Kontroversi sering muncul saat media dan pernyataan publik memicu polarisasi. Peraturan yang tidak jelas dan penegakan yang tak konsisten memperparah kekerasan, baik simbolik maupun fisik.

Memperbaiki kondisi ini memerlukan perombakan kebijakan yang bias dan penguatan mekanisme pengawasan. Pemahaman lanskap ini penting agar langkah penegakan hukum berikutnya tidak lagi mandek.

Penegakan Hukum Anti-Diskriminasi: Antara Teks UU dan Realitas Sosial

A diverse group of three professionals standing united in a modern urban setting, symbolizing the fight against racial discrimination. The foreground features a Black woman in a formal suit, a South Asian man wearing business attire, and a Latin American woman dressed in modest casual clothing, all expressing a sense of solidarity and determination. The middle ground displays blurred outlines of a bustling city, with skyscrapers and people of various ethnicities walking by, emphasizing a multicultural environment. The background includes a bright blue sky and sunlight filtering through the buildings, creating an optimistic atmosphere. The scene conveys hope and unity, visually representing the importance of anti-discrimination laws in today's society, captured with a shallow depth of field to draw focus on the subjects.

Perangkat hukum tersedia, tapi praktik penegakan kerap gagal menutup ruang bagi kebencian rasial. UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis serta pasal 156-157 KUHP mestinya menjadi fondasi hukum pidana untuk menindak ujaran kebencian.

NN: Fungsi regulasi yang mandek

Supriyadi W. Eddyono (ICJR) menyebut aturan itu sebagai “rekayasa sosial” untuk mencegah kekerasan massal. Namun pemantauan ICJR 2013–2015 menunjukkan hampir tidak ada perkara penyebaran kebencian ras yang tuntas di pengadilan.

SNP No. 1 Komnas HAM (2020)

Komnas HAM memperkuat kerangka lewat SNP No. 1 Tahun 2020 sebagai panduan pemantauan dan rekomendasi. Pedoman ini penting agar penghapusan diskriminasi ras dan etnis tidak sekadar norma di kertas.

Siklus kasus di media sosial

Polanya berulang: posting provokatif viral, reaksi publik, lalu kasus menguap tanpa tindakan tegas. Akibatnya, pelaku sering luput dari proses yang nyata dan hak asasi korban tergerus.

  • Butuh koordinasi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Komnas HAM.
  • Penegakan harus cepat, terukur, dan berorientasi hasil.

Kelompok Rentan di Bawah Bayang-Bayang Kebijakan: Perempuan, Disabilitas, LGBT, dan ODHIV

A diverse group of individuals representing vulnerable communities stands together in a powerful yet hopeful display. In the foreground, a woman wearing professional attire confidently interacts with a gentleman in a wheelchair, symbolizing disabled individuals. Next to them, a proud member of the LGBT community holds a rainbow flag, embodying diversity and resilience. In the background, silhouettes of people representing those affected by HIV/AIDS serve as a reminder of the ongoing fight for equality. The lighting is warm and inviting, creating a sense of unity and strength. The scene is set in an urban environment, with buildings softly blurred, capturing a moment of solidarity amidst societal challenges. The atmosphere is one of empowerment, illustrating the importance of inclusivity and support for all marginalized groups.

Kelompok rentan sering menanggung beban kebijakan yang tidak mengakomodasi kebutuhan dasar mereka. Kultur sosial dan politik membuat akses pendidikan dan kerja bagi perempuan tetap terbatasi.

Perempuan Mahardika menyoroti budaya patriarki yang mendorong banyak perempuan muda masuk pabrik garmen sejak usia 18 karena tekanan ekonomi.

Disabilitas, LGBT, dan ODHIV: diskriminasi berlapis, kriminalisasi, dan minimnya layanan

SIGAB mencatat dari 17.000 penyandang disabilitas usia produktif, hanya 7.000 yang terserap kerja. Angka ini menunjukkan hambatan akses dan akomodasi yang lemah.

SWARA mengingatkan bahwa diskriminasi terhadap komunitas LGBT sering dipolitisasi oleh media, termasuk penolakan acara edukasi HAM. ODHIV mengalami PHK, penolakan sekolah, serta akses ARV yang belum merata.

  • Budaya patriarki mempengaruhi pilihan pendidikan dan kerja, memperbesar risiko kemiskinan.
  • Hambatan akses bagi penyandang disabilitas menurunkan partisipasi ekonomi secara signifikan.
  • Stigma terhadap LGBT dan ODHIV menghambat tes, pengobatan, dan perlindungan dasar.
Kelompok Masalah Utama Kebutuhan Prioritas
Perempuan Akses pendidikan rendah, kerja dini di garmen Kebijakan kerja ramah gender, beasiswa, proteksi sosial
Penyandang Disabilitas Rendahnya serapan kerja, kurang akomodasi Aksesibilitas kerja, pelatihan, akomodasi wajar
LGBT & ODHIV Stigma, pemecatan, akses layanan terbatas Perlindungan hukum, layanan ARV merata, rumah aman

Perlindungan yang komprehensif harus menutup celah layanan—pendidikan, kesehatan, dan kerja—agar hak setiap orang dihormati. Untuk pembahasan kebijakan bermasalah lebih lanjut, baca analisis perda multitafsir dan dampaknya.

Ketika Aturan Menguatkan Diskriminasi: dari Perda Multitafsir, UU MD3, hingga RKUHP

Aturan yang samar sering kali berubah jadi alat yang menindas warga, bukan melindungi mereka.

Perda multitafsir dan rancangan undang-undang yang bermasalah bisa memperlebar ruang tindakan yang bias. Dampaknya nyata pada akses kerja, layanan kesehatan, dan hak dasar lainnya.

Parade Juang Perempuan Indonesia: memotret kebijakan bermasalah dan mendesakkan reformasi

Parade Juang (8 Maret 2018) menyoroti sejumlah peraturan bermasalah: posisi kebal DPR lewat UU MD3, RKUHP yang berisiko menabrak perlindungan anak, serta 421 kebijakan yang meminggirkan perempuan dan LBT.

  • Mendesak pencabutan peraturan yang merugikan dan penghentian pembahasan RKUHP.
  • Tuntutan pengesahan UU PRT, ratifikasi ILO 189, dan penguatan penanganan pelanggaran HAM berat.
  • Perlu audit regulasi untuk menyisir pasal yang membuka celah kejahatan kebencian terhadap kelompok tertentu.
Isu Akibat di Lapangan Tuntutan
Perda multitafsir (>200 daerah) Kriminalisasi ODHIV dan populasi kunci Pencabutan dan klarifikasi peraturan daerah
UU MD3 Berpotensi melemahkan kontrol publik Revisi atau pencabutan pasal yang mengurangi akuntabilitas
RKUHP Pasal karet, risiko tumpang tindih hukum pidana Stop pembahasan dan kajian dampak menyeluruh

Kesimpulan

Kombinasi bukti statistik dan kasus nyata menuntut respons hukum yang lebih tegas. Temuan ICJR (2013–2015) yang nyaris nihil perkara ujaran kebencian ras, SNP Komnas HAM (2020), catatan 421 kebijakan dari Komnas Perempuan, serta lebih dari 200 perda multitafsir menunjukkan pola systemik diskriminasi.

Solusi harus meliputi pembenahan undang-undang dan penataan pasal/nomor yang multitafsir, plus penegakan hukum yang menindak pelaku secara konsisten. Perlindungan hak asasi harus nyata di tempat kerja, layanan publik, dan ruang publik.

Demokrasi tumbuh bila warga negara percaya hukum berpihak pada kesetaraan. Mari dorong payung hukum komprehensif untuk penghapusan diskriminasi dan implementasi SNP Komnas HAM sebagai tolok ukur kinerja. Untuk rujukan dan konteks sejarah HAM, lihat analisis hak asasi di dokumen terkait.

Related Articles

Back to top button

situs toto