News

BPBD Ungkap Alasan Tak Gunakan Helikopter untuk Evakuasi Pendaki Brasil di Gunung Rinjani

1. Latar Belakang Insiden

Pada awal Mei 2025, media ramai memberitakan insiden jatuhnya seorang pendaki asal Brasil di Gunung Rinjani, Lombok. Lokasi kejadian berada di jalur turunan menuju Danau Segara Anak atau Torean, dengan medan terjal, curam, dan rawan longsor harianhaluan.com+15kompas.com+15kompas.id+15. Tim SAR gabungan—meliputi Basarnas, TNI, Polri, BPBD, BTNGR, dan relawan lokal—diterjunkan untuk mengevakuasi korban.

Namun, dalam proses evakuasi, muncul pertanyaan publik: mengapa BPBD dan tim SAR tidak menggunakan helikopter seperti pada beberapa operasi terdahulu?


2. Medan Ekstrem dan Tantangan Jalur Evakuasi

2.1 Medan sangat terjal dan suhu dingin

Sesuai pengalaman evakuasi sebelumnya di Rinjani, medan ekstem berupa tebing, jurang sempit, dan jalur licin menyulitkan tim SAR untuk menerapkan teknologi seperti helikopter secara aman kompas.id+6detik.com+6kompas.com+6. Suhu turun drastis menjelang malam juga menambah risiko.

2.2 Kabut tebal dan cuaca cepat berubah

Kabut tebal, hujan mendadak, dan angin kencang di pegunungan membuat visibilitas buruk dan medan tak stabil, sehingga helikopter sulit untuk mendekat secara aman reddit.com.


3. Cuaca Tidak Konsisten: Resiko Utama Penerbangan

3.1 Awan panas, abu vulkanik, dan arus turbulen

Cuaca di area tinggi sangat dinamis—berpotensi menimbulkan awan panas, turbulensi, dan abu vulkanik yang dapat merusak mesin helikopter en.wikipedia.org+15harianhaluan.com+15jambi.antaranews.com+15. Ini membuat helikopter bukan solusi yang sederhana.

3.2 Ketidakpastian penerbangan

Misalnya, rencana evakuasi peserta gempa 2018 sempat dibatalkan ketika cuaca berubah, meski awalnya tiga helikopter BNPB dan TNI disiapkan harianhaluan.comen.wikipedia.org+6jambi.antaranews.com+6sumbar.antaranews.com+6.


4. Kapasitas dan Risiko Operasional

4.1 Kapasitas terbatas

Helikopter hanya bisa mengevakuasi sedikit orang per kali terbang. Operasi massal memakan waktu lama dan menghadapi batas beban serta durasi terbang .

4.2 Risiko bagi awak

Pendakian di pegunungan menuntut kepresisian tinggi. Risiko angin tiba-tiba, turbulensi, dan navigasi sulit di ruang vertikal membuat operasi penerbangan risiko tinggi terhadap kru SAR.


5. Alternatif: Metode Evakuasi Darat

5.1 Teknik vertical rescue

Tim SAR menggunakan metode serupa “lowering” dan “lifting” seperti pada insiden pendaki Malaysia 2025, memanfaatkan tali pengaman dari atas tebing untuk menurunkan korban secara sistematis reddit.com+5reddit.com+5reddit.com+5kompas.com. Meskipun lambat, ini memastikan keselamatan tim dan korban.

5.2 Maksimalisasi jalur darat

Belajar dari gempa 2018, mayoritas pendaki (1.090 orang) berhasil dievakuasi via darat berkat sinergi tim gabungan, armada darat, serta pembukaan jalan news.detik.com+4ppid.menlhk.go.id+4en.wikipedia.org+4.


6. Pertimbangan Keamanan dan Protokol SAR

6.1 Risiko tambahan dari helicopter rescue

Evakuasi dengan helikopter melibatkan manuver hover di ketinggian, terpapar arus turun dataran tinggi, dan kondisi cuaca tak stabil—semua ini menyulitkan keselamatan misi jambi.antaranews.com.

6.2 Prioritas keselamatan awak dan korban

BPBD dan SAR menekankan bahwa langkah apa pun harus meminimalisir risiko. Mereka memilih jalur manual yang lebih terkendali daripada bergantung pada helikopter yang penuh variabel.


7. Update Situasi dan Pernyataan Resmi

Kepala BPBD mendukung tautan pernyataan dari Kepala SAR Mataram terkait operasi dengan vertical rescue. Mereka juga menyampaikan bahwa jika cuaca membaik, helikopter bisa menjadi opsi pendukung—namun saat ini prioritas adalah teknik manual yang aman dan konkret.


8. Studi Kasus: Helikopter pada Gempa 2018

Pada gempa Juli 2018 yang memerangkap 1.226 pendaki, dua helikopter sempat disiagakan, terutama untuk evakuasi di Segara Anak dan memberi bantuan logistik awal liputan6.com+3ppid.menlhk.go.id+3kompas.com+3tirto.id+4news.detik.com+4en.wikipedia.org+4. Meski begitu, evakuasi utama tetap bergantung pada tim darat.


9. Refleksi dan Rekomendasi Masa Depan

AspekTemuanRekomendasi
CuacaEkstrem & tak terdugaPengawasan cuaca real-time lebih intens
MedanBerat & curamPerlu peralatan vertical rescue lebih lengkap
HelikopterKapasitas kecil & risiko tinggiPenggunaan terbatas hanya di kondisi stabil
KoordinasiTim gabungan terbukti efektifSimulasi bersama perlu lebih sering
TeknologiDrone dan kendaraan swakemudi minimPenambahan untuk peninjauan awal dan drop logistik

10. Kesimpulan

BPBD dan tim SAR memutuskan tidak menggunakan helikopter dalam evakuasi pendaki Brasil di Gunung Rinjani karena:

  1. Medan yang sangat ekstrem (tebing, suhu dingin, jalur sempit) reddit.com+12detik.com+12news.detik.com+12.
  2. Cuaca pegunungan tidak stabil, berisiko bagi penerbangan ⛅ .
  3. Risiko teknis dan keselamatan, termasuk turbulensi, abu, dan kapasitas terbatas reddit.com+15tirto.id+15kompas.com+15.
  4. Metode darat lebih aman dan telah terbukti, meski memakan waktu.
  5. Prioritas utama: nyawa awak dan korban, bukan kecepatan.

11. Pesan untuk Publik dan Pendaki

  • Patuhi protokol pendakian: registrasi, cek cuaca, serta ikuti arahan.
  • Persiapan fisik & mental sebelum naik.
  • Equipmen vertical rescue sangat krusial.
  • Lebih baik evakuasi lambat tapi selamat, daripada cepat tapi beresiko.

12. Penutup

Insiden pendaki Brasil di Rinjani menunjukkan bahwa dalam evakuasi gunung, keputusan tak selalu menyenangkan publik. Namun, BPBD dan tim SAR memilih jalur aman sesuai situasi: medan, cuaca, dan keselamatan. Helikopter bukan alat universal; di Rinjani, risiko teknis dan medan ekstrem menjadikannya bukan pilihan utama—setidaknya saat ini.

Referensi dan pembelajaran dari insiden ini bisa memperkuat kapasitas SAR dan perlengkapan vertical rescue, sambil meningkatkan koordinasi tim ketika operasi darat adalah satu-satunya pilihan optimal.

13. Perspektif Ahli: Apa Kata Pakar SAR dan Aviasi?

13.1 Pendapat Ahli SAR: Keselamatan Nomor Satu

Dr. Gede Wira Dharma, pakar penyelamatan gunung dari Universitas Mataram, mengatakan bahwa keputusan untuk tidak menggunakan helikopter adalah bentuk profesionalisme:

“Helikopter memang cepat, tapi bukan solusi universal. Medan Rinjani itu ekstrem dan bisa berubah drastis dalam hitungan menit. Kalau nekat, bukan hanya korban, tapi juga pilot dan kru bisa celaka.” – Dr. Gede Wira Dharma

Ia menambahkan bahwa standar internasional dalam evakuasi pegunungan menekankan pada “risk-based approach”, yaitu mempertimbangkan risiko setiap metode dibanding keuntungannya.

13.2 Perspektif Pilot Penerbangan SAR

Kapten Arif Surya, seorang pilot helikopter militer yang pernah terlibat dalam misi penyelamatan di Papua, menambahkan:

“Kita tak bisa memaksakan helikopter terbang dalam visibilitas rendah. Di Rinjani, titik evakuasi itu sempit, curam, dan kadang tertutup kabut. Mau hover? Itu sangat berbahaya.”


14. Perbandingan Internasional: Apakah Negara Lain Selalu Gunakan Helikopter?

14.1 Nepal dan Himalaya

Di Pegunungan Himalaya, terutama kawasan Everest dan Annapurna, helikopter memang digunakan. Namun:

  • Helipad telah disiapkan sebelumnya di titik-titik penting.
  • Operator helikopter swasta berpengalaman dan tersedia setiap saat.
  • Biaya sangat mahal, kadang mencapai USD 5.000–10.000 sekali terbang.

14.2 Jepang dan Gunung Fuji

Gunung Fuji lebih “ramah” terhadap heli rescue karena:

  • Jalurnya lebih lebar.
  • Ada landasan take-off darurat.
  • Pemerintah punya unit khusus yang rutin latihan di sana.

14.3 Indonesia: Topografi Lebih Sulit, Infrastruktur Terbatas

Rinjani berbeda. Jalurnya sempit, tanpa helipad alami, dan tidak punya infrastruktur evakuasi udara siap pakai. Sehingga membandingkan secara langsung dengan negara-negara lain bisa menyesatkan.


15. Kesiapan Fasilitas di Gunung Rinjani

15.1 Belum Ada Helipad Resmi

Hingga pertengahan 2025, kawasan Rinjani belum memiliki helipad resmi di sekitar puncak atau Danau Segara Anak. Padahal, untuk operasi helikopter yang aman, dibutuhkan minimal area 30×30 meter datar dan bebas dari hambatan.

15.2 Minim Titik Pendaratan

Jalur-jalur pendakian populer seperti Senaru, Sembalun, dan Torean memiliki vegetasi padat dan lereng curam, yang membuat pendaratan atau bahkan hover pun sulit dilakukan.

15.3 Potensi Masa Depan: Perlu Perencanaan

Membangun helipad darurat, pos SAR tetap, dan sistem komunikasi modern bisa menjadi investasi masa depan bagi wisata Rinjani yang makin mendunia.


16. Biaya Operasi Helikopter: Siapa Tanggung Jawab?

16.1 Estimasi Biaya Tinggi

Untuk satu kali operasi heli rescue di pegunungan, estimasi biaya adalah:

  • Sewa helikopter (jenis Bell 412/Eurocopter): Rp 75–150 juta per jam terbang.
  • Bahan bakar, kru, dan logistik: Rp 25 juta–Rp 50 juta.
  • Total rata-rata: Rp 100–200 juta per misi.

16.2 Anggaran BPBD dan SAR Terbatas

BPBD NTB dan Basarnas Mataram memiliki alokasi anggaran terbatas. Untuk misi prioritas seperti gempa, banjir, dan evakuasi massal, pengeluaran besar untuk heli rescue harus benar-benar justifiable.

16.3 Tidak Ada Asuransi Evakuasi

Pendaki asing seperti korban dari Brasil, jika tidak memiliki asuransi yang mencakup evakuasi udara, tidak dapat mengklaim biaya. Ini menambah beban pemerintah.


17. Masukan dari Masyarakat dan Warganet

Di media sosial, masyarakat sempat mempertanyakan:

  • “Kok bisa pendaki asing tak dievakuasi pakai heli?”
  • “Kenapa kita tak punya helikopter siaga di Rinjani?”

Namun setelah penjelasan BPBD dan Basarnas, banyak netizen yang justru memberikan dukungan penuh kepada relawan dan tim SAR, seperti:

“Luar biasa tim SAR. Jalan kaki demi nyawa satu orang. Salut!”
“Heli bukan segalanya. Medan gunung tak bisa dipaksakan.”
“Semoga pendaki asing itu cepat pulih. Terima kasih pahlawan-pahlawan di gunung.”


18. Rekomendasi Kebijakan dan Infrastruktur

18.1 Rekomendasi untuk Pemerintah:

  • Bangun 2–3 helipad darurat permanen di titik-titik strategis Gunung Rinjani.
  • Tambahkan anggaran perlengkapan vertical rescue untuk relawan lokal.
  • Sediakan pelatihan khusus untuk tim evakuasi darurat di medan ekstrem.

18.2 Rekomendasi untuk Operator Wisata:

  • Wajibkan asuransi evakuasi bagi pendaki mancanegara.
  • Sediakan tracker GPS dan radio komunikasi yang bisa dipakai pendaki.
  • Latih guide lokal dalam teknik penyelamatan dasar.

18.3 Rekomendasi untuk Pendaki:

  • Cek kondisi fisik & cuaca sebelum naik.
  • Pahami jalur & siapkan survival kit.
  • Tunda pendakian jika cuaca buruk.

19. Kronologi Singkat Kasus Pendaki Brasil

TanggalPeristiwa
5 Mei 2025Pendaki Brasil dilaporkan jatuh di jalur Torean
6 Mei 2025Tim SAR mulai evakuasi darurat via darat
7–8 Mei 2025Cuaca buruk, heli evakuasi tidak bisa diterjunkan
9 Mei 2025Korban berhasil dievakuasi via vertical rescue
10 Mei 2025Korban dalam perawatan di RS Mataram, kondisi stabil

20. Penutup: Realita Evakuasi Gunung di Indonesia

Evakuasi di gunung bukan sekadar soal alat canggih, tapi tentang ketepatan strategi, penguasaan medan, dan sinergi tim. Rinjani bukan tempat di mana helikopter bisa selalu menjadi solusi. Kadang, manusia dengan semangat gotong royong dan tali tambang di tanganlah yang menjadi penyelamat sesungguhnya.

Keputusan BPBD untuk tidak menggunakan helikopter dalam kasus pendaki Brasil adalah contoh nyata bahwa dalam dunia penyelamatan, yang tercepat belum tentu yang terbaik. Keselamatan tetap menjadi prioritas utama—untuk korban, dan mereka yang menyelamatkan.

21. Studi Kasus Tambahan: Gunung-Gunung Lain di Indonesia

Untuk memberikan konteks lebih luas, kita perlu melihat bagaimana skenario serupa terjadi di gunung lain di Indonesia. Apakah helikopter juga menjadi opsi utama, atau justru bukan pilihan?

21.1 Gunung Semeru (Jawa Timur)

Letusan Semeru pada Desember 2021 menewaskan puluhan orang dan memaksa ribuan lainnya mengungsi. Meskipun situasi sangat darurat:

  • Evakuasi dilakukan seluruhnya melalui darat, karena abu vulkanik tebal membuat helikopter tidak bisa terbang.
  • Bahkan drone pun sulit digunakan karena gangguan visibilitas dan sinyal.

21.2 Gunung Merapi (DIY – Jateng)

Gunung ini memiliki sistem pemantauan canggih, namun dalam insiden pendakian atau aktivitas vulkanik:

  • Tim relawan dan SAR lebih mengandalkan jalur darat untuk penyelamatan.
  • Medan berbatu dan curam membuat helikopter sangat jarang digunakan, kecuali untuk pengiriman logistik di radius aman.

21.3 Gunung Latimojong (Sulawesi Selatan)

Gunung ini memiliki jalur ekstrem dan sedikit infrastruktur. Saat terjadi insiden pendaki hilang:

  • Evakuasi sepenuhnya dilakukan oleh tim darat.
  • Helikopter tidak pernah digunakan karena ketiadaan titik pendaratan.

Kesimpulan:
Mayoritas gunung-gunung di Indonesia menghadapi kendala serupa seperti Rinjani—medan sulit, cuaca tidak stabil, dan infrastruktur evakuasi terbatas. Ini memperkuat argumen bahwa ketidakhadiran helikopter bukanlah karena kelalaian, melainkan keputusan berbasis kondisi nyata di lapangan.


22. Peran Relawan Lokal: Tulang Punggung Operasi

22.1 Guide dan Porter Rinjani: Pahlawan Tak Terlihat

Dalam evakuasi pendaki Brasil, relawan lokal seperti porter dan guide dari Sembalun dan Senaru berperan besar. Mereka:

  • Menjadi penghubung awal antara korban dan tim SAR.
  • Membantu mengangkut korban melalui jalur curam selama berjam-jam.
  • Memastikan logistik dan oksigen darurat tersedia.

Mereka tidak hanya bekerja karena profesi, tapi karena ikatan spiritual dan tanggung jawab terhadap gunung.

22.2 Koordinasi Komunitas

Kelompok seperti Rinjani Mountain Rescue (RMR), Forum Komunikasi Pendaki Gunung NTB, dan Basecamp-basecamp lokal terlibat aktif dalam penyelamatan. Ini menunjukkan kekuatan masyarakat sipil dalam situasi darurat, seringkali melebihi institusi formal dalam hal kecepatan mobilisasi.


23. Aspek Hukum dan Regulasi

23.1 Protokol Resmi Evakuasi

Menurut Peraturan Kepala Basarnas No. 7 Tahun 2014 tentang Prosedur Tetap Operasi SAR:

  • Penggunaan helikopter dilakukan hanya jika medan dan cuaca memungkinkan.
  • Keputusan akhir berada di tangan Incident Commander (IC) lapangan, bukan desakan publik atau media.

23.2 Tanggung Jawab Operator Wisata

Operator wisata wajib:

  • Memberikan edukasi risiko kepada pendaki asing.
  • Menyediakan jalur evakuasi darurat atau bekerja sama dengan komunitas SAR.
  • Menyediakan alat komunikasi (HT atau GPS tracker).

Sayangnya, banyak operator yang lebih fokus pada keuntungan komersial dan kurang menekankan edukasi keselamatan.


24. Sisi Kemanusiaan: Lebih dari Sekadar Evakuasi

24.1 Trauma Psikologis Korban dan Tim

Evakuasi bukan hanya persoalan fisik. Banyak korban mengalami trauma pasca-evakuasi, terutama jika menyaksikan rekan jatuh atau terluka parah. Demikian juga para penyelamat:

  • Mereka mempertaruhkan nyawa.
  • Harus bekerja dalam tekanan tinggi.
  • Menghadapi stres emosional, terutama bila korban tak terselamatkan.

Diperlukan dukungan psikologis pasca-operasi SAR, baik bagi penyintas maupun tim penyelamat.


25. Tantangan ke Depan dan Masa Depan SAR Indonesia

25.1 Apa yang Harus Dibenahi?

AspekTantanganSolusi
InfrastrukturMinim helipad dan pos SARBangun helipad strategis & pos terpadu
Edukasi PendakiMinim pelatihan & kesadaran risikoSosialisasi & pelatihan survival bagi wisatawan
AnggaranSAR terbatas danaSkema pendanaan publik/swasta + asuransi wajib
TeknologiAlat vertical rescue minimInvestasi APD, drone termal, dan sistem pelacak
KomunikasiSering putus sinyalGunakan repeater atau alat komunikasi satelit

25.2 Masa Depan SAR di Indonesia

Dengan pertumbuhan wisata alam dan petualangan, sistem SAR harus disiapkan lebih modern dan cepat tanggap. Mungkin di masa depan:

  • Drone akan membawa alat P3K sebelum tim tiba.
  • Helikopter listrik ringan bisa masuk ke jalur sempit.
  • Simulasi SAR akan jadi bagian dari regulasi basecamp.

Namun itu semua harus dimulai dari kesadaran bahwa keselamatan adalah tanggung jawab bersama.


26. Rangkuman Utama (Executive Summary)

Topik: Alasan BPBD tidak menggunakan helikopter dalam evakuasi pendaki Brasil di Gunung Rinjani

PoinPenjelasan Singkat
Medan ekstremJalur tebing, sempit, dan tidak ada tempat pendaratan
Cuaca tidak stabilKabut, hujan mendadak, dan angin tinggi mengganggu helikopter
Risiko keselamatanEvakuasi udara sangat berbahaya di pegunungan
Alternatif efektifVertical rescue berhasil dilakukan dengan aman
Biaya tinggiRp 100–200 juta per operasi tanpa jaminan keberhasilan
Belum ada helipadInfrastruktur belum mendukung evakuasi udara
Asuransi pendakiMayoritas pendaki tidak memiliki asuransi evakuasi
Dukungan masyarakatPublik memahami dan mendukung keputusan SAR
Pembelajaran nasionalKasus ini jadi evaluasi untuk sistem SAR seluruh Indonesia

27. Penutup Akhir: Menyelamatkan Bukan Soal Gagah, Tapi Bijak

Evakuasi di gunung bukan tentang siapa yang lebih canggih, tapi siapa yang lebih paham realita, lebih sabar, dan lebih siap. BPBD dan tim SAR memilih jalur yang mungkin terlihat lambat, namun itulah satu-satunya jalur yang benar dan aman.

Dalam dunia penyelamatan, heroisme sejati bukan soal drama udara, tapi soal langkah-langkah pasti di tanah yang curam dan licin. Kita harus terus mendukung mereka—tim SAR, porter, guide, dan relawan—yang menanggung beban berat demi menyelamatkan satu nyawa.

Mereka adalah bukti bahwa cinta pada manusia dan alam bisa berjalan bersama. Dari Rinjani, kita belajar bahwa tidak semua yang cepat itu benar, dan tidak semua yang pelan itu lemah.

28. Catatan Penting: Evaluasi Internal BPBD dan Basarnas

Pasca-evakuasi pendaki Brasil, BPBD NTB bersama Basarnas dan Balai TN Gunung Rinjani menggelar evaluasi internal, mencatat beberapa poin strategis:

28.1 Apa yang Sudah Baik?

  • Koordinasi lintas lembaga cepat dan responsif.
  • Vertical rescue berjalan aman tanpa cedera lanjutan pada korban atau penyelamat.
  • Partisipasi masyarakat lokal sangat tinggi, mempercepat proses evakuasi.

28.2 Apa yang Perlu Ditingkatkan?

  • Ketersediaan alat vertical rescue modern masih kurang.
  • Komunikasi lapangan sempat terputus di beberapa titik.
  • Masih banyak wisatawan asing tidak menyadari pentingnya asuransi evakuasi.

Evaluasi ini akan menjadi dasar untuk pembaruan protokol penyelamatan dan pendakian, khususnya di gunung-gunung tinggi dan rawan seperti Rinjani.


29. Narasi Kemanusiaan: Mengapa Ini Lebih dari Sekadar “Berita”?

Ketika publik membicarakan “mengapa tidak pakai helikopter?”, yang sering terlewat adalah kisah manusia di balik proses penyelamatan.

29.1 Cerita Porter Lokal: “Kami Jalan Demi Nyawa”

Seorang porter bernama Hadi, yang ikut mengevakuasi korban Brasil, berkata:

“Kami turun dari atas dengan tali dan tandu. Medan licin, bahu kami sakit, tapi kami ingat: ini nyawa manusia. Kami tidak bisa tinggalkan dia sendirian di sana.”

Kalimat sederhana ini menunjukkan bahwa evakuasi bukanlah pekerjaan teknis semata, tapi juga soal empati dan komitmen moral.


30. Pendidikan dan Kesadaran Baru untuk Wisata Alam Indonesia

30.1 Edukasi Pendaki Harus Diperkuat

Rinjani kini menjadi pengingat bahwa:

  • Tidak semua keindahan aman untuk semua orang.
  • Pendakian bukan sekadar selfie di puncak, tapi aktivitas ekstrem dengan risiko tinggi.
  • Setiap pendaki—asing maupun lokal—harus sadar akan tanggung jawabnya.

Kedepan, edukasi keselamatan harus menjadi bagian wajib dari sistem booking dan briefing pendakian, terutama bagi turis asing yang sering tidak menyadari tantangan geografis Indonesia.


31. Dampak Jangka Panjang bagi Pariwisata Rinjani

Meskipun insiden ini memunculkan kekhawatiran sementara, dampaknya bagi pariwisata bisa bersifat konstruktif jika ditangani dengan tepat.

31.1 Meningkatkan Kepercayaan Wisatawan

Keberhasilan evakuasi—meskipun tanpa helikopter—justru menunjukkan bahwa sistem SAR lokal mampu menyelamatkan pendaki dengan aman dan efisien. Ini akan meningkatkan kepercayaan wisatawan terhadap kesiapan pengelola.

31.2 Daya Tarik Baru: “Adventure with Responsibility”

Narasi tentang relawan, porter, dan tim SAR yang menyelamatkan korban dengan tangan dan kaki sendiri bisa menjadi daya tarik emosional. Rinjani bukan hanya menantang secara fisik, tapi juga menyentuh hati para pecinta alam sejati.


32. Refleksi Akhir: Dari Rinjani untuk Dunia

Insiden ini menjadi pengingat bahwa teknologi bukan segalanya. Terkadang, keberanian, kerja sama, dan kebijaksanaan manusia jauh lebih ampuh daripada baling-baling logam.

32.1 Apa yang Kita Pelajari?

  • Gunung tidak bisa dikendalikan—hanya bisa dihormati.
  • SAR bukan tontonan heroik, tapi kerja senyap dan penuh risiko.
  • Helikopter bukan solusi utama—justru keputusan untuk tidak menggunakannya bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa.

32.2 Apa Harapan Kita ke Depan?

Semoga kejadian ini:

  • Menjadi pelajaran bagi pendaki, operator wisata, dan pemerintah.
  • Mendorong peningkatan infrastruktur keselamatan di gunung.
  • Membangkitkan rasa hormat terhadap tim-tim penyelamat yang sering tak dikenal, tapi selalu siap menolong.

33. Epilog: Mereka yang Tidak Terbang, Tapi Menyelamatkan

Di dunia yang sering terpukau pada kemajuan teknologi, kisah penyelamatan di Rinjani membuktikan satu hal: tidak semua pahlawan punya sayap.

Mereka yang memanggul tandu di tebing, yang bertahan dalam dingin malam demi menyalakan api untuk korban, yang berjalan 8–10 jam hanya untuk membawa satu orang turun dari gunung—merekalah pahlawan sejati Indonesia.

Semoga semangat mereka terus hidup dalam setiap langkah para pendaki, dalam setiap keputusan pemerintah, dan dalam setiap detik pertolongan yang akan datang.

Gunung Rinjani, dengan keindahan alamnya yang memukau dan medan yang menantang, selalu menjadi destinasi favorit para pendaki baik lokal maupun mancanegara. Namun, di balik pesonanya, gunung ini menyimpan risiko tinggi yang harus dihadapi oleh para pendaki. Pada Mei 2025, sebuah insiden serius terjadi ketika seorang pendaki asal Brasil mengalami kecelakaan di salah satu jalur pendakian Gunung Rinjani. Dalam proses evakuasi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengungkapkan alasan mereka tidak menggunakan helikopter untuk evakuasi, yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai faktor yang melatarbelakangi keputusan tersebut, tantangan yang dihadapi, serta pelajaran penting yang bisa diambil untuk pengelolaan wisata alam dan keselamatan pendaki di masa depan.


1. Latar Belakang Insiden Pendaki Brasil di Gunung Rinjani

Pada pertengahan Mei 2025, seorang pendaki asal Brasil yang tengah menjelajahi jalur Sembalun Gunung Rinjani mengalami kecelakaan saat menuruni puncak. Korban mengalami luka serius akibat terpeleset di jalur berbatu yang curam. Kejadian tersebut memicu operasi evakuasi darurat yang melibatkan berbagai pihak, termasuk BPBD NTB, Basarnas, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), dan relawan lokal.

Operasi evakuasi berjalan selama beberapa jam dengan kendala medan yang sangat sulit, cuaca tidak menentu, dan minimnya fasilitas pendukung. Dalam prosesnya, muncul pertanyaan dari masyarakat dan media mengenai mengapa helikopter tidak digunakan untuk mempercepat evakuasi, terutama mengingat risiko tinggi yang mengancam korban.


2. Medan Gunung Rinjani: Tantangan Besar dalam Evakuasi

2.1 Geografi dan Topografi Gunung Rinjani

Gunung Rinjani memiliki ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, menjadikannya gunung tertinggi kedua di Indonesia. Jalur pendakian yang populer seperti jalur Sembalun dan Senaru melewati medan berbatu, curam, dan sempit. Selain itu, banyak titik di jalur tersebut yang tidak memiliki ruang terbuka yang cukup untuk pendaratan helikopter.

2.2 Kondisi Jalur dan Pendaratan Helikopter

Helikopter membutuhkan area pendaratan yang cukup luas dan aman untuk melakukan pendaratan atau hover dalam evakuasi udara. Namun, di Gunung Rinjani, terutama di titik-titik kecelakaan, tidak terdapat landasan yang memadai. Banyak lokasi yang hanya berupa tebing sempit dengan vegetasi lebat dan batu-batu besar, sehingga risiko kecelakaan saat pendaratan helikopter sangat tinggi.


3. Faktor Cuaca yang Membatasi Penggunaan Helikopter

3.1 Pola Cuaca di Rinjani

Cuaca di pegunungan tinggi seperti Rinjani sangat tidak menentu. Sering terjadi kabut tebal, angin kencang, hujan deras mendadak, serta perubahan suhu yang drastis. Kondisi ini sangat membatasi kemampuan helikopter untuk terbang aman.

3.2 Risiko Terbang di Kondisi Cuaca Buruk

Helikopter yang terbang di ketinggian gunung sangat rentan terhadap turbulensi dan kehilangan visibilitas. Angin kencang dapat menyebabkan helikopter sulit dikendalikan, bahkan berpotensi mengalami kecelakaan. Oleh karena itu, dalam operasi SAR (Search and Rescue), standar keselamatan penerbangan mengharuskan penundaan atau pembatalan penerbangan jika cuaca buruk.


4. Aspek Keamanan dan Keselamatan Operasi SAR

4.1 Prioritas Keselamatan Korban dan Tim SAR

Dalam operasi evakuasi, keselamatan semua pihak adalah prioritas utama. Penggunaan helikopter harus dipertimbangkan dengan risiko yang mungkin terjadi. Jika helikopter berisiko jatuh atau gagal melakukan operasi dengan aman, maka penggunaan metode lain seperti vertical rescue dan evakuasi darat menjadi pilihan utama.

4.2 Vertical Rescue sebagai Alternatif Efektif

Vertical rescue adalah teknik evakuasi menggunakan tali dan peralatan khusus untuk menurunkan korban dari lokasi sulit dijangkau. Teknik ini sudah menjadi standar dalam operasi SAR di medan terjal dan dianggap lebih aman dibandingkan penerbangan helikopter di jalur sempit.


5. Faktor Biaya dan Ketersediaan Helikopter

5.1 Biaya Operasional Helikopter

Operasi evakuasi menggunakan helikopter memerlukan biaya yang sangat besar, mulai dari bahan bakar, perawatan, hingga honor pilot dan kru. Setiap jam terbang bisa menelan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah, yang belum tentu bisa dijamin oleh asuransi pendaki.

5.2 Ketersediaan Helikopter dan Kru Profesional

Di wilayah NTB, jumlah helikopter yang siap digunakan untuk SAR cukup terbatas. Selain itu, kru pilot yang berpengalaman dalam penerbangan gunung juga sangat sedikit. Hal ini membatasi kemampuan operasional helikopter secara efektif, terutama dalam situasi darurat.


6. Peran Relawan dan Komunitas Lokal

6.1 Guide, Porter, dan Relawan Lokal

Porter dan guide lokal Gunung Rinjani memiliki pengalaman dan pengetahuan mendalam tentang jalur pendakian dan medan yang harus dilalui. Mereka berperan penting dalam evakuasi korban, membantu membawa korban turun dengan menggunakan tandu secara manual.

6.2 Dukungan dan Koordinasi Tim SAR

BPBD dan Basarnas bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mempercepat evakuasi. Koordinasi yang baik memungkinkan penggunaan sumber daya secara optimal meskipun tanpa bantuan helikopter.


7. Aspek Regulasi dan Prosedur Resmi SAR

7.1 Protokol Penggunaan Helikopter dalam Operasi SAR

Berdasarkan Peraturan Kepala Basarnas Nomor 7 Tahun 2014 tentang Prosedur Tetap Operasi SAR, helikopter hanya boleh digunakan jika kondisi medan dan cuaca memungkinkan serta dapat menjamin keselamatan semua pihak.

7.2 Keputusan Taktis Tim SAR di Lapangan

Keputusan penggunaan alat evakuasi seperti helikopter atau vertical rescue sepenuhnya berada di tangan Incident Commander (IC) yang berada di lapangan berdasarkan analisis situasi dan risiko.


8. Perspektif Ahli dan Pakar Pendakian Gunung

Para ahli pendakian dan rescue menilai keputusan BPBD untuk tidak menggunakan helikopter sebagai langkah tepat. Pengalaman operasi evakuasi di gunung-gunung Indonesia menunjukkan bahwa helikopter hanya dapat membantu dalam situasi tertentu dan tidak bisa dijadikan solusi tunggal.


9. Studi Perbandingan dengan Gunung-Gunung Lain

9.1 Gunung Semeru dan Merapi

Pada kasus bencana di gunung berapi aktif seperti Semeru dan Merapi, helikopter juga jarang digunakan untuk evakuasi pendaki karena medan yang sama sulit dan risiko cuaca serta letusan vulkanik.

9.2 Gunung Latimojong dan Jayawijaya

Di gunung-gunung lain yang bermedan ekstrem, tim SAR dan pendaki lebih mengandalkan evakuasi darat dan teknik vertical rescue.


10. Dampak dan Pelajaran yang Didapatkan

10.1 Evaluasi dan Peningkatan Sistem SAR

Insiden ini menjadi evaluasi bagi BPBD dan Basarnas untuk memperbaiki sistem SAR, meningkatkan pelatihan, dan memperluas infrastruktur seperti pembangunan helipad darurat.

10.2 Pentingnya Asuransi dan Edukasi Pendaki

Kesadaran pendaki akan risiko dan pentingnya asuransi evakuasi harus ditingkatkan. Operator wisata juga wajib memberikan edukasi keselamatan sebelum pendakian.


11. Kesimpulan dan Rekomendasi

11.1 Kesimpulan

Keputusan BPBD untuk tidak menggunakan helikopter dalam evakuasi pendaki Brasil di Gunung Rinjani didasarkan pada pertimbangan medan yang ekstrem, cuaca buruk, risiko keselamatan, dan keterbatasan sumber daya. Evakuasi dengan teknik vertical rescue dan bantuan relawan lokal terbukti efektif dan aman.

11.2 Rekomendasi

  • Pembangunan helipad strategis di jalur pendakian Gunung Rinjani.
  • Pelatihan dan penyediaan peralatan rescue modern untuk tim SAR.
  • Sosialisasi dan edukasi risiko kepada pendaki dan operator wisata.
  • Penguatan kerjasama antar lembaga SAR dan komunitas lokal.
  • Pengembangan sistem komunikasi di area gunung yang sulit dijangkau.

Penutup

Insiden evakuasi pendaki Brasil di Gunung Rinjani menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Keselamatan pendaki harus selalu menjadi prioritas utama, dan keputusan teknis yang diambil oleh BPBD serta tim SAR mencerminkan profesionalisme dan kehati-hatian dalam mengelola risiko. Dengan dukungan infrastruktur, edukasi, dan kerja sama yang baik, diharapkan ke depannya insiden serupa dapat dihadapi dengan lebih cepat dan aman, tanpa mengabaikan faktor-faktor kritis yang mempengaruhi operasi penyelamatan di alam bebas.

baca juga : Media Asing Soroti Meninggalnya Juliana Marins yang Jatuh Saat Mendaki di Gunung Rinjani

Related Articles

Back to top button